Diberdayakan oleh Blogger.

Artikel Masyarakat 3

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH  : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN               : ASRI WULAN

                                    ARTIKEL MASYARAKAT

                          KEHIDUPAN MASYARAKAT ARAB

         Bukan hal yang mudah untuk menjelaskan budaya Arab karena hal ini menyangkut sejarah ribuan tahun. Selama berabad-abad, mereka mengalami beberapa masa kejayaan. Meskipun begitu, mereka lebih banyak mengalami masa perjuangan.

        Kini, sekitar 40% orang Arab tinggal di kota-kota besar. Hal ini, entah bagaimana, telah menyebabkan ikatan tradisional keluarga dan suku putus. Kini, para wanita dan pria memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan kesempatan kerja yang lebih besar. Semua itu, juga perubahan-perubahan yang lain, menciptakan "kelas menengah" baru dalam masyarakat mereka.

         Komunitas imigran Arab (orang Arab yang tinggal di negara-negara bukan Arab) masuk dalam ketegori "kelas menengah". Karena para imigran Arab sangat terbuka terhadap budaya barat, budaya dan gaya hidup tradisional mereka telah mengalami banyak perubahan. Akibatnya, ikatan budaya mereka merenggang.

          Ada berbagai jenis pekerjaan bagi sebagian besar imigran Arab. Hal ini sangat membantu kehidupan miskin mereka. Namun di sisi lain, hal tersebut mengendorkan ikatan tradisional keluarga mereka. Para wanita diberi kebebasan untuk meninggalkan rumah. Perjodohan dan tekanan sosial untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan agama tradisional pun semakin sedikit.

         Dibanding struktur sosial di gurun atau desa Arab, struktur sosial para imigran Arab lebih rumit. Sekarang ini, kebanyakan imigran Arab mengakui jati diri mereka berdasar kebangsaan, bukan kesukuan.

       Meskipun persatuan politik masih merupakan mimpi bagi masyarakat Arab, bahasa Arab masih menjadi pemersatu paling utama. Dalam upayanya melestarikan bahasa ibu mereka, Arab telah mempertahankan dua jenis bahasa Arabic. Jenis bahasa yang pertama adalah bahasa Arab klasik (classical Arabic), bahasa religius dan sastra yang diucapkan dan dituliskan secara seragam di dunia Arab. Jenis bahasa yang kedua adalah bahasa Arab untuk percakapan sehari-hari (colloquial Arabic), bahasa lisan informal yang berbeda-beda, tergantung dialek masing-masing daerah. Kedua jenis bahasa tersebut digunakan oleh orang-orang Arab yang berpendidikan.

         Beberapa upaya untuk memelihara tradisi budaya, seperti penamaan anak, telah dilakukan. Umumnya, nama seorang anak Arab mencerminkan tiga elemen penting dalam kehidupan Arab: sanak keluarga, rumah, dan agama. Jadi, seorang bocah lelaki mungkin saja bernama Muhammad bin Ibrahim al Hamza. "Muhammad" merupakan nama religiusnya. Lalu "bin Ibrahim" adalah nama ayahnya. Dan "Al Hamza" berarti dia berasal dari desa Hamza. Para gadis juga diberi nama yang mirip, yang tetap digunakan meski setelah mereka menikah. Hal ini menunjukkan tradisi Arab Muslim, meskipun para wanita tunduk pada para pria, mereka tetap mempertahankan identitas, hak, dan ikatan keluarga mereka.

       Penyunatan bagi laki-laki masih merupakan sebuah tradisi dalam masyarakat Arab. Acara ini digelar pada sekitar tahun ketujuh, dan diadakan sebagai pertanda masuknya anak laki-laki ke dalam masyarakat religius. Para gadis jarang disunat, kecuali di beberapa daerah yang terisolasi.

        Awal mula masa Islam adalah saat "identitas Arab" memunyai arti bahwa semua orang Arab adalah keturunan dari seorang pria biasa. Oleh karena itu, menjadi orang Arab akan dihargai, dihormati, dan mendapat hak istimewa.


Apakah agama mereka?

        Mohammad pertama kali mengajar ajaran Islam pada orang Arab di awal abad ketujuh. Penerusnya dengan cepat mengajarkan agama Islam secara luas. Ke mana pun orang Muslim pergi, mereka meninggalkan elemen budaya Arab mereka, termasuk agama mereka.

         Hubungan sejarah antara orang Arab dan agama Islam masih sangat kuat. Sekarang ini, sekitar 93% orang Arab adalah Muslim, yang termasuk dalam sejumlah sekte: Shia ("Ithna Ashari" atau "Ismaeli"), Alawi, Zaidi, dan Sunni. Muslim Sunni adalah sekte paling besar.

Artikel Kebudayaan 3

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

                                              ARTIKEL KEBUDAYAAN

                                    DAYA HIDUP KEBUDAYAAN SUNDA

         W.S. Rendra dalam Kongres Kebudayaan IV di Jakarta, 29 Oktober - 3 November 1991, mengemukakan bahwa setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernapas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi.

        Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan" kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.

        Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda. Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

        Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?

        Kalaulah kemudian tujuh daya hidup kreasi Rendra digunakan untuk mengelaborasi kebudayaan Sunda kontemporer, setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.

        Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

         Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.

         Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.

        Kalaulah upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.

        Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.

         Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya" pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

        Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.

         Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.

Artikel Penduduk 2

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

                                   ARTIKEL PENDUDUK

              PENDUDUK KOTA & KABUPATEN BANDUNG

          Jumlah penduduk Kab. Bandung sampai akhir tahun 2009 sebanyak 2.987.106 jiwa atau meningkat sekitar 84.000 jiwa dari tahun 2008. Hal ini meluruskan klaim sejumlah pejabat di Kab. Bandung yang dalam pidatonya selalu menyebut jumlah penduduk Kab. Bandung 3,2 juta jiwa."Sebagian besar penduduk adalah laki-laki, yakni 1,505 juta, sedangkan perempuan 1,48 juta orang. Secara nasional, jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Namun di Kab. Bandung terjadi sebaliknya," kata Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kab. Bandung Drs. H. Edi Siswandi, melalui Kasubid Data Mikro Keluarga Rachman, di ruang kerjanya, Selasa (19/1).

         Data tersebut berdasarkan hasil pendataan keluarga yang dilakukan BKBPP Kab. Bandung dari Juli-September 2009 lalu. "Pendataan dilakukan para kader KB di setiap rukun warga (RW) dengan mendatangi rumah-rumah warga layaknya sensus penduduk. Diharapkan data ini mendekati kenyataan di lapangan," ujarnya. Warga miskin BKBPP Kab. Bandung juga mencatat kenaikan jumlah Pra-keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan KS-i atau biasa disebut keluarga miskin. "Pra-KS meningkat dari 144.055 kepala keluarga (KK) menjadi 147503 KK. Untuk KS-i naik dari, 234.200 KK jadi 255.377 KK," ucapnya.

         Sementara itu, angka pengangguran di Kab. Bandung tercatat sebanyak 199.206 orang atau hanya menurun 8.226 orang dari kondisi tahun 2008 sebesar 199.798 orang. "Jumlah penduduk yang bekerja 826.905 orang atau naik 31.002 orang dari kondisi tahun lalu sebanyak 795.883 orang," katanya.Data-data Pra-KS dan KS-i dari BKPBB akan dijadikan sebagai rujukan dalam penentuan penerima Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) maupun fasilitas Keluarga Miskin Daerah (Gakinda). "Sedangkan penentuan beras rakyat miskin (raskin) dan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai kelanjutan dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)," ucapnya. (A-71)".


Pada tingkat kota

         Data jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai dengan jumlah penduduk miskin Kota Bandung yang ditemui di lapangan.
Menurut Wali Kota Bandung Dada Rosada, ketidaksesuaian jumlah penduduk miskin data BPS dengan kondisi di masyarakat disebabkan oleh bertambahnya penduduk miskin setelah adanya sensus penduduk yang dilakukan BPS.

        "Bertambahnya kemiskinan juga sangat variatif, misalnya hari ini mencatat ada 200.000 yang menganggur dan hari ini juga ada pengusaha yang memecat karyawannya. Data itu tidak cepat juga kita saling komunikasikan karena memang cepat sekali perubahannya," ujar Dada di Kantor RW 14 Sadangsari, Kelurahan Sekeloa, Kecamatan Coblong, Sabtu (20/2).

         Untuk memperoleh data akurat penduduk miskin di Kota Bandung, tambah Dada, memang perlu dilihat kembali kriteria masyarakat miskin. Namun, seluruh prosedur pendataan diserahkan sepenuhnya kepada BPS.


        "BPS mendata saja. Hasilnya diserahkan kepada saya selaku wali kota. Setelah itu wali kota yang bertugas menyejahterakan masyarakat," kata Dada.

         Sebelumnya, anggota Komisi D DPRD Bandung Tedy Rusmawan menilai perlu ada penambahan kriteria kemiskinan dalam pendataan penduduk miskin oleh BPS dalam sensus penduduk yang akan dilakukan Mei 2010 ini. Pasalnya, 14 kriteria penduduk miskin yang selama ini digunakan oleh BPS sebagai acuan saat ini dinilai kurang sesuai dengan kondisi masyarakat Kota Bandung.

Artikel Masyarakat 2

NAMA               : DIMAS PRASETYOKO
NPM                  : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

                                      ARTIKEL MASYARAKAT

                   POLA PERTANIAN MASYARAKAT DI JAWA BARAT

         Pola pertanian berladang yang di daerah Jawa Barat dikenal dengan
istilah ngahuma rupanya sudah dikenal sejak jaman neolitihicum, ketika
manusia masih menggunakan alat/perkakas untuk keperluan hidupnya terbuat
dari batu yang telah diasah. Perkakas itu umumnya berupa kapak batu dan
sejenisnya.

         Menurut laporan FAO (Food Agriculture Organizations) tahun 1957, di
seluruh dunia tanah yang diolah dengan cara berladang meliputi luas kira-kira
14.000.000 mil persegi, tersebar di daerah tropis dan sub-tropis di Afrika, Asia
Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia), Oceania, dan Amerika.

         Kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan ke arah bercocok
tanam biasanya tinggal dalam lingkungan alam yang memiliki curah hujan
cukup banyak, sehingga pertumbuhan tanaman terus terjamin. Oleh karena itu,
daerah yang didiami oleh tipe masyarakat tersebut terdiri dari areal hutan lebat,
tanahnya basah dan mungkin pula berawa-rawa.

         Daerah Jawa Barat yang beriklim antara tropis dan sub-tropis
merupakan daerah agraris yang subur. Dahulu daerah ini, terutama daerah
pedalaman, memiliki banyak hutan lebat serta daerah rawa. Keadaan ini
memungkinkan timbulnya cara-cara bercocok tanam yang dilakukan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman berupa pertanian di ladang yang
disebut ngahuma dan pola pertanian menetap, yaitu bersawah. Hingga
sekarang pola pertanian sawah merupakan mata pencaharian utama bagi
masyarakat Jawa Barat, khususnya di daerah pedesaan.

        Dalam hubungan dengan masalah mata pencaharian masyarakat di
Indonesia, Wertheim membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga pola mata
pencaharian utama, yaitu masyarakat pantai, masyarakat ladang, dan
masyarakat sawah. Contoh umum masyarakat ladang ialah masyarakat di
daerah pedalaman Sumatera dan daerah pedalaman Jawa Barat, sedangkan
masyarakat pedalaman Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali oleh Wertheim
dimasukkan ke dalam pola masyarakat sawah.

        Bercocok tanam di ladang para ahli menyebutnya dengan berbagai
macam istilah, antara lain shipting cultivation, slash and burn agriculture
dan ada pula yang menyebut swidden agriculture. Istilah-istilah itu semuanya
menunjukkan tentang teknik/cara manusia melakukan bercocok tanam di
ladang. Cara bercocok tanam di ladang ternyata terdapat perbedaan di kalangan
masyarakat peladang di daerah sabana dan daerah tropis. Demikian pula alatalat/
perkakas yang digunakannya.

       Sampai kini di Indonesia bercocok tanam di ladang masih dilakukan,
antara lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sekitar Kepulauan Nusa
Tenggara sebelah timur Lombok, beberapa daerah di Irian Jawa dan di
beberapa bagian Pulau Jawa.

       Di Jawa Barat pola pertanian ngahuma masih dapat kita lihat di daerah
Banten dan di beberapa daerah Jawa Barat bagian selatan. Ciri-ciri yang masih
jelas dari pola kehidupan ngahuma dapat kita saksikan pada masyarakat Baduy
di Banten Selatan. Bentuk rumah yang sederhana terbuat dari bambu dan kayu,
beratap ijuk atau alang-alang dan hanya diperkuat dengan ikatan tali bambu
atau ijuk, menunjukkan bahwa pahuma (peladang) sering berpindah-pindah
mengikuti pindahnya huma (ladang) mereka.

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH  : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN               : ASRI WULAN

                                                 ARTIKELKEBUDAYAAN

                                  RUMAH SADE SEBAGAI BUDAYA SASAK

         Jika di daerah lain mengenal "Desa Wisata", maka di Pulau Lombok juga dapat ditemui hal serupa yakni di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).

         Dusun Sade barangkali cukup mewakili untuk disebut sebagai Desa Wisata layaknya Desa Wisata di daerah lain. Sebab, masyarakat yang tinggal di dusun tersebut semuanya adalah Suku Sasak. Mereka hingga kini masih memegang teguh adat tradisi. Bahkan, rumah adat khas Sasak juga masih terlihat berdiri kokoh dan terawat di kawasan ini.

        Suku Sasak adalah penduduk asli dan mayoritas di Pulau Lombok, NTB. Konon, kebudayaan masyarakat terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab itu, Suku Sasak disebut "Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi".

         Sedangkan kebudayaan Suku Sasak itu diantaranya terekam dalam rumah adat Suku Sasak. Alasannya, rumah memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai tempat secara individu dan keluarga secara jasmani, tetapi juga dalam pemenuhan kebutuhan jiwa atau spiritual.

         Rumah adat Suku Sasak, jika diperhatikan dibangun berdasarkan nilai estetika dan kearifan lokal. Orang sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat ritual adat dan ritual keagamaan.

         Rumah adat suku Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantai dari tanah liat yang dicampur kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Cara membuat lantai seperti itu sudah diwarisi sejak nenek moyang mereka.

         Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Untuk menyambung bagian-bagian kayu, mereka menggunakan paku dari bambu. Rumah suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, tidak memiliki jendela.

         Dalam masyarakat Sasak, rumah memiliki dimensi kesakralan dan keduniawian. Rumah adat Sasak selain sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat ritual sakral sebagai manifestasi keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang, penunggu rumah dan sebagainya.


         Perubahan pengetahuan, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor eksternal seperti faktor keamanan, geografis dan topografis, menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisional.

         Karena itu, untuk menjaga kelestarian rumah adat, orang tua Suku Sasak biasanya berpesan kepada anak-anaknya jika ingin membangun rumah. Jika tetap mau tinggal didaerah setempat, maka harus membuat rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Tapi, jika ingin membangun rumah permanen seperti di kampung-kampung lain pada umumnya, mereka dipersilahkan keluar dari kampung tersebut.

         Bahan pembuat rumah adat suku Sasak diantaranya kayu penyanggga, bambu, bedek untuk dinding, jerami dan alang-alang untuk atap, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran pengeras lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami sebagai bahan pengeras lantai.

        Waktu pembangunan, biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Tidak semua orang mampu menentukan hari baik. Biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat.
Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijjah.

        Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan, rumah yang dibangung pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain.

        Orang Sasak selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. karena mereka meyakini tempat yang tidak tepat akan berakibat kurang baik, seperti i bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, posisi tusuk sate (susur gubug).

         Orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq lenget).

         Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Pembangunan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga kebutuhan kelompok.

         Pembangunan rumah adat Suku Sasak sebenarnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan itu berkembang dan berlanjut secara turun-temurun. Atap rumah tradisional Sasak didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan sikap saling hormat menghormati dan saling menghargai antara tamu dengan tuan rumah.

         Arah dan ukuran yang sama rumah adar Suku Sasak menunjukkan bahwa masyarakat hidup harmonis. Sedangkan undak-undakan (tangga) tingkat tiga mempunyai pesan bahwa tingkat ketakwaan ilmu pengetahuan dan kekayaan tiap manusia tidak akan sama. Diharapkan semua manusia menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kareba semuanya merupakan rahmat Tuhan.

        Jadi, rumah merupakan ekspresi pemikiran paling nyata seorang individu atau kelompok dalam mengejwantahkan hubungan dengan sesama manusia (komunitas atau masyarakat), alam dan dengan Tuhan (keyakinan), seperti halnya konsep yang ada pada pembangunan rumah adat masyarakat Sasak.

NAMA               : DIMAS PRASETYOKO
NPM                  : 12110041
KELAS              : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

       ARTIKEL HUBUNGAN PENDUDUK, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN

          HUBUNGAN PENDUDUK, MASYARAKAT, DAN KEBUDAYAAN

        Penduduk, masyarakat dan kebudayaan mempunyai hubungan yang erat antara satu sama lainnya. Dimana penduduk adalah sekumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu.

       Sedangkan masyarakat merupakan sekumpulan penduduk yang saling berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dan terikat oleh peraturan – peraturan yang berlaku di dalam wilayah tersebut. Masyarakat tersebutlah yang menciptakan dan melestarikan kebudayaan, baik yang mereka dapat dari nenek moyang mereka ataupun kebudayaan baru yang tumbuh dari dampak globalisasi & modernisasi.

      Oleh karena itu penduduk, masyarakat dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan sendiri berarti hasil karya manusia untuk melangsungkan ataupun melengkapi kebutuhan hidupnya yang kemudian menjadi sesuatu yang melekat dan menjadi ciri khas dari pada manusia ( masyarakat ) tersebut.

       Berbicara tentang kebudayaan. Indonesia adalah salah satu negara yang kaya akan kebudayaan, namun kebudayaan yang ada di Indonesia sering kali tidak diperhatikan & dilestarikan, maka tidak heran jika banyak negara sering mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya. Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan yang berbeda, kebudayaan tersebut semakin lama semakin beragam seiring dengan kemajuan jaman. Kebudaayan yang bersifat tradisional diciptakan dan dilestarikan secara turun temurun dari jaman nenek moyang, sedangkan kebudayaan yang bersifat ledih modern biasanya dampak dari seiring berubahnya jaman. Wayang adalah salah satu kebudayaan Indonesia yang sangat menarik perhatian Turis asing jika berkunjung ke Indonesia, namun sayang masyarakat asli Indonesia seringkali tidak menyukai & tidak melestarikan budaya tersebut. Seharusnya sebagi pemilik asli kebudayaan-kebudayaan Indonesia kita menjaga & melestarikan kebudayaan tersebut, jika tidak kebudayaan-kebudayaan tersebut akan sirna seiring berkembangnya jaman.

        Pada unsur-unsur kebudayaan sering terjadi ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat akan menimbulkan masalah sosial, masalah sosial tersebut akan membahayakan kehidupan kelompok sosial jika terdapat perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada.

       Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :

1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

                                                        ARTIKEL MASYARAKAT

                                           MASYARAKAT DI KECAMATAN RAIJUA

            Berdasarkan data sensus penduduk tahun 1997 penduduk yang mendiami wilayah Kecamatan Raijua sebanyak 6.440 jiwa. Dengan kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 174 jiwa per km2 dengan 99,99% penduduk asli.

            Mengenai asal-usul nenek moyang orang Raijua tak diketahui berasal dari mana. Menurut cerita rakyat atau mitologi orang Sabu dan Raijua datang dari seberang yang dalam bahasa sabu disebut “Dou Dakka Ti Darra Dahi, Ngati Kolo Rai Ahhu Rai Pana, Hu Udda Kolo Robo” (Orang yang muncul dari dalam laut. Datang dari tempat yang keramat). Orang pertama itu adalah Kika ‘Ga atau Hawu ‘Ga.

            Agama yang dianut oleh masyarakat di wilayah Kecamatan Reijua mayoritas Kristen Protestan. Selain itu juga terdapat agama Katholik, Islam dan aliran kepercayaan “Jingi Tiu”. Toleransi yang amat tinggi antara umat beragama di kecamatan ini, menyebabkan pelaksanaan peribadatan selalu harmonis, karena itu tidak pernah terjadi kerusuhan antara umat beragama.

           Pada umumnya masyarakat Raijua hidup dari bertani, beternak dan nelayan, dan ada juga yang bergerak di bidang kerajinan, seperti menganyam tikar, membuat tembikar, dan tenun ikat. Ada juga yang menjadi tukang, baik tukang kayu, maupun tukan batu dan malah ada yang ahli dalam membuat perahu tradisional. Namun profesi yang terakhir ini sudah mulai berkurang karena penggunaan perahu tradisional telah terdesak oleh perahu motor.

            Pada umumnya mata pencaharian seperti yang dikatakan di atas tidak terpisah-pisah, sebab kebanyakan seorang petani itu juda mengerjakan pula pekerjaan yang lain. Pada musim hujan, petani beramai-ramai mengerjakan sawah dan ladangnya sesuai dengan kalender adat, di samping itu memelihara ternak dan mengusahakan kerajinan lainnya. Sedangkan pada saat pohon lontar mulai mengeluarkan mayangnya maka beramai-ramai pula mereka menyadap lontar dan mengolahnya menjadi gula.

           Cara bercocok tanam masih sangat tradisional dan ekstensif. Produksi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bukan untuk tujuan komersil. Dari hasil bertani seperti itu, kebutuhan tidak terpenuhi, karena itu kelaparan selalu mengancam. Mata pencaharian penting yang dapat menolong dari ancaman kelaparan tersebut adalah menyadap lontar. Nira lontar diolah menjadi gula biasa disebut makanan utama. Selain itu juga dapat dijadikan cuka dan laru.

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS               : 1 KA 31
MATAKULIAH : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN              : ASRI WULAN

                                                     ARTIKEL KEBUDAYAAN

                                             KEBUDAYAAN NGABEN DI BALI

      Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah.Menurut ajaran Hindu, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

       Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.

       Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.

       Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.

       Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

       Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.

       Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

       Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

       Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.

       Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.

       Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.

       Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal.

       Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

       Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

NAMA                : DIMAS PRASETYOKO
NPM                   : 12110041
KELAS                : 1 KA 31
MATAKULIAH  : ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN               : ASRI WULAN

                                                              ARTIKEL PENDUDUK

                                  PENDUDUK DAN PERKEMBANGAN KOTA (1900-1990)

           Salah satu persoalan rumit yang dihadapi kota-kota di Indonesia pada masa kini adalah persoalan penduduk, tanah dan lahan permukiman dan usaha. Paling tidak pada sekitar 1900-an isu tentang peledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta gejala urbanisasi mulai mengemuka di Jawa, sebagaimana tercermin dalam isu tentang Mindere Welvaart (Kemerosotan Kemakmuran) yang muncul pada masa itu. Isu-isu itu mengundang tuntutan perbaikan kebijakan dari pihak pemerintah. Kebijakan Politik Etis dengan trilogi programnya, yaitu pendidikan, emigrasi dan irigasi, dan kebijakan Perbaikan Kampung ( Kampung Verbeteringen ), penanggulangan kesehatan, pendirian Lumbung Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan lainnya yang dilancarkan pada sekitar dua dekade pertama awal abad ke-20 merupakan solusi penting terhadap persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semuanya itu melatari perjalanan perkembangan kota-kota di Indonesia.

         Sementara itu, perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada 1900-1940-an meningkat, sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-sektor tertentu, misalnya pertambangan, perkebunan, perdagangan dan perindustrian. Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu, memiliki ciri khas yaitu menjadi basis kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi, kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi Putra atau Pribumi, di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu Orang Cina. Mereka itu pada hakekatnya menjadi embrio kelahiran “orang Indonesia” pada awal abad ke-20. Di kalangan mereka itulah sesungguhnya kesadaran akan bangsa dan identitas baru muncul, yaitu indentitas “orang Indonesia”. Selain kota Jakarta (Batavia), kota Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya berkembang menjadi kota besar yang berperan sebagai pusat modernisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk kota Semarang, Medan dan Makasar.


         Pesatnya proses modernisasi, industrialisasi, komersialisasi dan edukasi yang terpusat di kota-kota besar telah menjadi faktor pengerak perubahan dan penarik arus urbanisasi dan migrasi penduduk di daerah Indonesia. Kota menjanjikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan atau di daerah lain di Indonesia. Selain itu, kemajemukan penduduk yang telah menjadi ciri kota-kota colonial, pada masa sesudah Perang Dunia II menjadi semakin berkembang dan lebih-lebih pada masa Orde Baru.

        Pluralitas penduduk perkotaan di Indonesia, pada hakekatnya menjadi faktor pendorong bagi berlangsungnya proses integrasi dan Indonesianisasi di Indonesia. Proses ini berlangsung tidak hanya melalui kegiatan dalam segi-segi admininistari dan politik pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga melalui proses interaksi sosial dan dialog budaya.

        Kenaikan jumlah penduduk karena pesatnya angka kelahiran pada masa itu semakin menambah kesulitan pada kota-kota di Indonesia karena menimbulkan dampak-dampak yang akan semakin membuat persoalan di kota-kota tersebut, seperti kriminalitas, pengangguran, polusi dll.


*sumber : www.google.com

NAMA : DIMAS PRASETYOKO
NPM : 12110041
KELAS : 1 KA 31
MATA KULIAH : ILMU SOSIAL DASAR

ARTIKEL-ILMU SOSIAL DASAR

PANCASILA SEBAGAI DASAR KEHIDUPAN SOSIAL

Pancasila merupakan sarana atau wadah yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia berisi cita-cita moral yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma luhur yang sudah berakar dan membudaya dalam masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, secara formal mendasari semua usaha dan kegiatan bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diterimanya pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai persatuan indonesia, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Makna nilai-nilai dasar dalam pancasila :

a. Nilai ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antarumat beragama.

b. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.

c. Nilai persatuan indonesia mengandung makna merasa memiliki jiwa satu nasionalisme serta selalu menghargai perbedaan dan keanekagaraman demi satu tujuan bangsa Indonesia.

d. Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.

Nilai Sosial Pancasila menjadi Sumber Norma Etik Upaya lain dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai adalah dengan menjadikan nilai dasar Pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai pancasila adalah nilai moral. Oleh karena itu, nilai pancasila juga dapat diwujudkan kedalam norma-norma moral (etik). Norma-norma etik tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan sosial semestinya berjalan sesuai dengan nilai-nilai dasar yang ada di dalam pancasila dan hendaknya kita mulai dari kehidupan pribadi kita sehari-hari agar nantinya tercipta kedamaian, ketentraman, serta kemajuan bangsa.

NAMA : DIMAS PRASETYOKO
NPM : 12110041
KELAS : 1 KA 31
MATA KULIAH : ILMU SOSIAL DASAR

ILMU SOSIAL DASAR-ARTIKEL ILMU SOSIAL DASAR

Pengaruh Tantangan Global terhadap Budaya Bangsa

Adanya unsur budaya asing yang masuk akibat globalisasi, sangat berpengaruh terhadap kebudayaan bangsa Indonesia. Berbagai bidang kehidupan yang lainpun tidak luput terpengaruh pula oleh globalisasi. Karena begitu cepat dan begitu kuat pengaruh yang ditimbulkan budaya asing menyebabkan terjadinya goncangan budaya pada masyarakat Indonesia, dimana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Setiap budaya yang masuk sebaiknya harus melalui proses penyerapan , agar budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia tidak masuk dan mempengaruhi masayarakat Indonesia. Namun, seperti yang kita ketahui sekarang ini banyak sekali budaya-budaya asing yang masuk dan mempengaruhi masyarakat Indonesia tanpa melalui proses penyerapan. Misalnya budaya seks bebas di kalangan remaja saat-saat ini. Budaya tersebut sangat jauh dari karakter dan kepribadian bangsa Indonesia yang begitu santun.

Tidak hanya masalah yang menyangkut perilaku, teknologi yang berkembang pada era globalisasipun sangat mempengaruhi karakter sosial. Misalnya, adanya komputer. Komputer dengan kemampuannya untuk menyimpan dan memperoleh kembali informasi dengan kecepatan dan ketepatannya. Hal ini pasti mempengaruhi pola perilaku masyarakat pada kehidupan sehari-hari maupun kondisi sosial diluar. Seperti, masyarakat menjadi malas, banyaknya pengangguran karena kurang dibutuhkannya tenaga manusia untuk mengerjakan sesuatu, adanya rasa ketergantungan pada alat-alat teknologi (komputer tsb), dan masih banyak sekali dampak-dampak yang timbul akibat teknologi yang berkembang pada era globalisasi.

Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat dikatakan masalah-masalah tersebut timbul ketika kita melakukan hal-hal lebih cepat sebelum norma, keyakinan dan nilai-nilai dibuat untuk menghadapi segala konsekuensinya. Hal-hal semacam inilah yang menjadi tantangan global bagi budaya bangsa kita.

Namun tidak semua pengaruh globalisasi yang masuk akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup Bangsa. Semua tergantung proses masuknya pengaruh globalisasi tersebut & bagaimana setiap individu menyikapinya. Semakin banyaknya budaya asing yang masuk akan semakin memperkayakehidupan kebudayaan kita.




*sumber : buku “Manusia dan Masyarakat ” Pelajaran Sosiologi untuk SMA/MA, penerbit : Exact Ganeca

NAMA : DIMAS PRASETYOKO
NPM : 12110041
KELAS : 1 KA 31
MATA KULIAH : ILMU SOSIAL DASAR

ILMU SOSIAL DASAR-ARTIKEL ILMU SOSIAL DASAR

Pengaruh Tantangan Global terhadap Budaya Bangsa

Adanya unsur budaya asing yang masuk akibat globalisasi, sangat berpengaruh terhadap kebudayaan bangsa Indonesia. Berbagai bidang kehidupan yang lainpun tidak luput terpengaruh pula oleh globalisasi. Karena begitu cepat dan begitu kuat pengaruh yang ditimbulkan budaya asing menyebabkan terjadinya goncangan budaya pada masyarakat Indonesia, dimana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Setiap budaya yang masuk sebaiknya harus melalui proses penyerapan , agar budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia tidak masuk dan mempengaruhi masayarakat Indonesia. Namun, seperti yang kita ketahui sekarang ini banyak sekali budaya-budaya asing yang masuk dan mempengaruhi masyarakat Indonesia tanpa melalui proses penyerapan. Misalnya budaya seks bebas di kalangan remaja saat-saat ini. Budaya tersebut sangat jauh dari karakter bangsa Indonesia yang begitu santun.

Tidak hanya masalah yang menyangkut perilaku, teknologi yang berkembang pada era globalisasipun sangat mempengaruhi karakter sosial. Misalnya, adanya komputer. Komputer dengan kemampuannya untuk menyimpan dan memperoleh kembali informasi dengan kecepatan dan ketepatannya. Hal ini pasti mempengaruhi pola perilaku masyarakat pada kehidupan sehari-hari.
Dari contoh-contoh kasus di atas, dapat dikatakan masalah-masalah tersebut timbul ketika kita melakukan hal-hal lebih cepat sebelum norma, keyakinan dan nilai-nilai dibuat untuk menghadapi segala konsekuensinya. Hal-hal semacam inilah yang menjadi tantangan global bagi budaya bangsa kita.

Namun tidak semua pengaruh globalisasi yang masuk akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup Bangsa. Semua tergantung proses masuknya pengaruh globalisasi tersebut & bagaimana setiap individu menyikapinya.




*sumber : buku “Manusia dan Masyarakat ” Pelajaran Sosiologi untuk SMA/MA, penerbit : Exact Ganeca

Nama : Dimas Prasetyoko
NPM : 12110041
Kelas : 1KA31
Mata Kuliah : Ilmu Sosial Dasar





ILMU SOSIAL DASAR – ARTIKEL ILMU SOSIAL DASAR

Permasalahan Batik

Dunia batik kita diwarnai dengan berbagai gejolak, antara lain yang berkaitan dengan HKI maupun yang berhubungan dengan lingkup perbatikan sendiri, seperti tekstil motif batik (printing). Tidak adanya kejelasan penanganan masalah HKI, menimbulkan interprestasi yang beragam dikalangan masyarakat dan pemerintah (daerah). Kreatifitas, khususnya didalam bahan, desain corak dan motif, terpengaruh juga dengan dinamika pasar global. Dengan perkembangan teknologi, bentuk pasar batikpun mulai berubah, selain pasar fisik muncul juga pasar on-line.
Sedangkan disisi produksi selain masalah produktifitas dan tenaga kerja, berkembang penggabungan atau mungkin persenyawaan (chemistry) antara tenun, printing dan pembatikan. Masa depan batik akan sangat ditentukan dengan pendekatan branding dan pengamanan supply chain, kalau ingin bertahan didunia global. Kota batik di Pekalongan, bukan Jogja eh bukan Solo…. (SBY, Slank). Bahkan, grup musik Slank pun menguatkan citra Pekalongan sebagai kota batik. Namun, melihat pemberitaan mengenai industri batik di sana yang mengalami kelesuan (Kompas, 27/3) bisa jadi lagu tersebut akan tak relevan lagi jika kondisi seperti saat ini dibiarkan. Kelesuan industri batik yang berbuntut pada terhentinya proses produksi untuk sementara waktu jelas merugikan banyak pihak.

Tak hanya penikmat batik, pengusaha dan terlebih para pekerja perajin batik yang jumlahnya ratusan dari 14 kelurahan yang ada di sana pastinya juga mengalami kerugian, terancam dan terpukul sisi perekonomiannya. Kehidupan dari membatik yang mereka andalkan sebagai satu-satunya penopang hidup terancam hilang dan hal tersebut tentunya patut menjadi perhatian kita bersama untuk dicarikan solusinya.
Untuk mengatasi permasalahan, tentu kita harus menguraikan satu per satu benang kusut akar permasalahan yang ada. Salah satu hal yang bisa diatasi dan hal tersebut bisa dilakukan secara mandiri oleh para perajin batik adalah dengan menekan beban produksi yang sejauh ini kian merangkak naik. Salah satu kebutuhan bahan baku yang naik tersebut adalah pewarna batik yang harganya dari Rp 26.000 menjadi Rp 48.000, atau hampir dua kali lipatnya. Permasalahan ini bisa diuraikan, meski tidak secara komprehensif dapat menyelesaikan semua permasalahan, namun paling tidak memperingan beban produksi. Solusi yang bisa ditempuh adalah mengganti bahan baku pewarna batik dengan pewarna batik alami.

Selama ini, sebagian perajin batik masih menggunakan pewarna sintetis impor. Padahal, selain harganya cukup mahal, penggunaannya juga mengancam kehidupan manusia karena bersifat karsinogenik yang cukup merusak lingkungan. Belum lagi pembuangan limbahnya yang tentu saja sangat berbahaya. Padahal, sebagian besar industri batik rumahan di Pekalongan membuang limbahnya ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu.
Imbasnya, air sungai menjadi tercemar dan tentu saja tidak dapat dimanfaatkan kembali. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar jika nantinya meresap ke sumur sebagai sumber utama mata air untuk kehidupan sehari-hari, jika dikonsumsi terus-menerus, tentu dalam tempo lama akan berakibat fatal.

Mengenai penggunaan pewarna buatan ini, bahkan Pemerintah Jerman dan Belanda telah melarangnya. Karena, penggunaan pewarna yang terbuat dari bahan kimia, naphtol, maupun garam diazonium ternyata bisa menyebabkan kanker kulit. Oleh karena itulah, mengapa pewarna alami lebih dianjurkan penggunaannya, entah dalam makanan, pakaian, dan lain sebagainya, karena selain ramah lingkungan juga tidak menimbulkan efek samping.
Nah, penggunaan pewarna alami pada batik ternyata bisa menjadikan warna batik lebih sejuk untuk dipandang karena warna yang ditimbulkan juga tidak begitu mencolok pada mata kita. Untuk itu, tak aneh jika saat ini wisatawan, utamanya mancanegara, lebih meminati batik dengan pewarna alami dibanding batik dengan pewarna sintetis.


*Sumber : wartawarga.gunadarma.ac.id

Nama : Dimas Prasetyoko
NPM : 12110041
Kelas : 1KA31
Mata Kuliah : Ilmu Sosial Dasar

ILMU SOSIAL DASAR

Pengertian ISD ( Ilmu Sosial Dasar )

Ilmu Sosial Dasar dapat diartikan sebagai suatu bahan studi yang dirancang khusus untuk kepentingan pendidikan yang diberikan di Perguruan Tinggi untuk menelaah, memuat, serta mempelajari masalah-masalah sosial yg terjadi, khusunya yang diwujudkan dengan menggunakan pengertian-pengertian ( fakta, konsep, teori ) yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian yang berada dalam ruang lingkup ilmu-ilmu sosial, seperti : ekonomi, geografi sosial, sosiologi, sejarah, psikologi sosial, antropologi, dll.
Ilmu Sosial Dasar tidak mempunyai objek dan metode ilmiah tersendiri. Ilmu Sosial Dasar juga tidak mengembangkan suatu penelitian, sehingga Ilmu Sosial Dasar bukan termasuk disiplin ilmu karena suatu disiplin ilmu memiliki objek dan metode serta melakukan suatu penelitian seperti yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial diatas.
Ilmu Sosial Dasar bukan merupakan gabungan dari ilmu-ilmu sosial yang dipadukan, karena ilmu-ilmu sosial tersebut memiliki objek dan metode alamiahnya masing-masing sehingga tidak memungkinkan untuk dipadukan.

Tujuan ISD (Ilmu Sosial Dasar)

Ilmu Sosial Dasar memiliki beberapa tujuan, antara lain :
1. Peka terhadap masalah-masalah sosial dan tanggap untuk ikut serta dalam usaha-usaha menanggulanginya.
2. Membantu perkembangan wawasan penalaran dan kepribadian mahasiswa agar memperoleh wawasan yg lebih luas dan ciri-ciri kepribadian yg diharapkan dari sikap mahasiswa, khususnya berkenaan dgn sikap dan tingkah laku manusia dlm menghadapi manusia-manusia lain.
3. Memahami dan menyadari adanya kenyataan-kenyataan sosial dan masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat.
4. Memahami jalan pikiran para ahli dari bidang ilmu pengetahuan lain dan dapat berkomunikasi dengan mereka dalam rangka penanggulangan masalah sosial yang timbul dalam masyarakat
5. Menyadari bahwa setiap masalah sosial yang timbul dalam masyarakat selalu bersifat kompleks dan hanya dapat mendekatinya serta mempelajarinya secara kritis-interdisipliner.

Hubungan Ilmu Sosial Dasar (ISD) dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Ilmu Sosial Dasar dan Ilmu Pengetahuan Sosial seringkali kita anggap sebagai bahan studi/mata pelajaran yang materi-materi di dalamnya sama, namun disamping persamaan tersebut diantara keduanya terdapat beberapa perbedaan. Persamaan serta perbedaan keduanya antara lain :
Persamaan ISD dengan IPS :
1. Keduanya merupakan bahan studi untuk kepentingan pendidikan.
2. Keduanya memiliki materi-materi yang terdiri dari kenyataan sosial.
3. Keduanya megkaji dan mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial.
4. Keduanya bukan merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Perbedaan ISD dengan IPS :
1. Ilmu Sosial Dasar diberikan di Perguruan Tinggi, sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial diberikan di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan.
2. Ilmu Sosial Dasar diarahkan kepada pembentukan sikap dan kepribadian, sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial diarahkan kepada pembentukan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
3. Ilmu Sosial Dasar merupakan satu matakuliah tunggal,sedangkan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kelompok dari sejumlah mata pelajaran (ditingkat Lanjutan ) seperti : Sejarah, Geografi, Ekonomi, dll.

Ruang Lingkup Ilmu Sosial Dasar (ISD)

Materi Ilmu Sosial Dasar terdiri atas masalah-masalah sosial. Kita harus dapat mengidentifikasi kenyataan-kenyataan sosial dan memahami beberapa konsep sosial tertentu untuk dapat menelaah masalah-masalah sosial. Bahan pelajaran Ilmu Sosial Dasar dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu :
1. Kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat, yang secara bersama-sama merupakan masalah sosial tertentu

Kenyataan-kenyataan tersebut sering ditanggapi secara berbeda oleh beberapa ahli ilmu sosial, karena perbedaan latar belakang dan sudut pandang. Dalam Ilmu Sosial Dasar kita menggunakan pendekatan interdisiplin/multidisiplin.

2. Konsep-konsep sosial atau pengertian-pengertian tentang kenyataan-kenyataan social.

Sebagai contoh dari konsep tersebut misalnya konsep “keanekaragaman” dan konsep “kesatuan sosial”. Dari kedua konsep tersebut, maka kita dapat memahami bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat
a. Persamaan dan perbedaan pola pemikiran dan tingkah laku baik individu maupun kelompok
b. Persamaan dan perbedaan kepentingan
c. Konflik, kesetiakawanan, kerjasama, dll yang timbul dari persamaan dan perbedaan tersebut

3. Masalah-masalah sosial yang timbul di dalam masyarakat, biasanya terlibat dalam berbagai kenyataan-kenyataan sosial antara satu dengan yang lain
Masalah-masalah tersebut antara lain :
a. Masalah kependudukan dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan
b. Masalah individu, keluarga, dan masyarakat
c. Masalah pemuda dan sosialisasi
d. Masalah hubungan antara warga negara dengan negara
e. Masalah pelapisan social dan kesamaan derajat
f. Masalah masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan
g. Masalah pertentangan-pertentangan sosial dan integrasi
h. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Facebook Twitter RSS